Jl. Bukit Darmo Raya No 1, Graha Famili Surabaya 
+62 (31) 7349231 
kadinjatim.sekretariat@gmail.com 

Arah Pendidikan Vokasi Belum Jelas dan Masih Berbasis Sekolah

JAKARTA, KOMPAS – Pendidikan vokasi di Indonesia harus bisa bergeser pada paradigma kebutuhan dunia kerja dan industri atau demand driven. Untuk menuju paradigma baru tersebut, diperlukan peran dunia usaha dan industri atau DUDI yang strategis, yakni dengan diberi kewenangan turut serta mengembangkan pendidikan vokasi.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia, dan Kadin Jerman di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Selasa (19/4/2022). Pertemuan tersebut membahas pendidikan vokasi yang dapat meningkatkan serapan tenaga kerja industri dengan mengambil contoh pendidikan vokasi sistem ganda di Jerman.

Anton J Supit dari Apindo mengatakan, sistem pendidikan vokasi yang berkualitas sudah tersedia di sejumlah negara, salah satunya Jerman. Indonesia hanya butuh merujuk, lalu mengimplementasikan secara serius sesuai dengan kondisi Indonesia.

”Namun, saat ini pendidikan vokasi tetap terasa belum clear atau jelas. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah tepat ketika memilih untuk fokus menguatkan pendidikan vokasi. Jika kita ingin menyiapkan tenaga kerja premium, ya, pendidikan vokasi ini harus jelas kepemimpinannya. Keterlibatan industri bukan sekadar terlibat dalam menerima magang, tapi ada kewenangan yang setara dengan pemerintah/pemerintah daerah dalam mengembangkan pendidikan vokasi,” ujar Anton.

Penasihat Senior TVET System Reform GIZ Indonesia Rudy Djumali mengatakan, sebenarnya pendidikan vokasi sistem ganda sudah dijalankan lama dengan kebijakan link and match pada masa Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro. Namun, hal itu sampai saat ini dirasakan belum berhasil karena peserta didik vokasi hanya ”dilempar” ke perusahaan. Padahal, sistem ganda menuntut pendidikan dan pelatihan berjalan dengan isi dan kualitas sama di dua tempat, yakni industri dan sekolah/pendidikan vokasi.

”Pembelajaran harusnya berjalan di dua tempat, di sekolah vokasi didampingi guru, di industri dengan instruktur. Selama ini (peserta magang) hanya ’dilempar’ ke perusahaan sehingga tidak terbangun kompetensi siswa, bahkan ada anggapan merepotkan,” kata Rudy.

Rudy mengatakan, belajar dari Jerman, industri punya tanggung jawab untuk memastikan pendidikan vokasi berhasil. Sebaliknya, di Indonesia, situasinya masih saling menyalahkan antara sekolah dan industri karena tenaga kerja yang mismatch.

”Indonesia butuh terobosan dalam meningkatkan daya saing. Pendidikan vokasi untuk menyiapkan SDM profesional jadi penting. Penyiapannya butuh dengan pendidikan vokasi sistem ganda yang berkualitas karena perkembangan teknologi cepat. Jadi, pendekatannya berorientasi ke demand, bukan supply. Jika mengandalkan pemerintah dengan cara yang seperti sekarang, mau dengan Merdeka Belajar atau kawin massal vokasi-industri, tetap saja berbasis sekolah dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan,” kata Rudy.

Menurut dia, sebenarnya ada kebutuhan agar dibentuk komite vokasi nasional yang memberikan kewenangan kepada industri dan asosiasi, seperti Kadin, untuk ikut bertanggung jawab mengembangkan pendidikan vokasi. Investasi untuk pendidikan vokasi secara tepat tidak mubazir karena sesuai, berorientasi dari demand, yang berarti sesuai kebutuhan industri.

Jika mengandalkan pemerintah dengan cara yang seperti sekarang, mau dengan Merdeka Belajar atau kawin massal vokasi-industri, tetap saja berbasis sekolah dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Tenaga Ahli Kadin Indonesia yang juga praktisi pendidikan vokasi dari Jerman, Henrik Kuffner, mengatakan, masalah koordinasi harus bisa dipecahkan. Sebab, banyak kementerian/institusi yang terlibat, tetapi melakukan sendiri-sendiri, serta tidak ada tujuan jangka panjang untuk membangun sistem bagus dan koordinasi. Persoalan koordinasi yang menguatkan pendidikan vokasi sebenarnya bisa dijawab dengan komite vokasi nasional yang menjadi pusat pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi di seluruh Indonesia.

”Juga penting untuk terus mengajarkan kepada masyarakat bahwa vokasi sebagai pilihan bagus untuk masa depan anak-anak muda Indonesia. Di sinilah Kadin bersama pemerintah pusat dan daerah yang memastikan ekosistem pendidikan vokasi terbentuk. Termasuk untuk menjangkau siswa, keluarga, dan komunitas bahwa pilihan vokasi juga tak kalah,” kata Hendrik.

Berkembang dari bawah

Asisten Program Kemitraan IHK (Kadin) Trier Jerman M Reza Nurhardyansyah memaparkan, pengembangan pendidikan vokasi di Jerman mengalami sejarah panjang. Vokasi di sana berkembang dari bawah, yakni melalui Kadin yang ada di 79 lokasi. Selain itu, pendidikan vokasi berkembang dengan adanya 130 kantor di seluruh dunia.

Pemerintah kemudian memperkuat dengan UU Pendidikan dan Pelatihan Vokasi yang intinya pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi menjadi tanggung jawab Kadin, khususnya untuk industri. Adapun untuk sekolah vokasi/kejuruan ditangani oleh pemerintah ataupun swasta.

Pendidikan vokasi sistem ganda ini dilaksanakan di dua tempat. Pemagang di industri yang terlibat minimal dari umur 15 tahun, tanpa batasan usia. Pemagang ini mendapatkan program pendidikan dan pelatihan selama 2,5-3,5 tahun, sebagian besar di industri sesuai profesi yang dipilih, dan sekitar 30 persen (1-2 hari) di sekolah vokasi yang standarnya sudah disesuaikan dengan profesi. Ada 438.000 dari 2,1 juta perusahaan ikut program pemagangan.

Dengan sistem pendidikan vokasi ganda di Jerman, pengangguran kaum muda termasuk rendah di Uni Eropa. Rata-rata pengangguran di Uni Eropa 17 persen dan di Jerman sekitar 7,5 persen. Daya saing global Jerman termasuk tinggi, nomor tiga di dunia tahun 2020.

”Lulusan dari vokasi ini bahkan mendapat jabatan yang tinggi dibandingkan lulusan akademik karena terjamin kualitasnya. Anak-anak muda pun mendapat manfaat dari sistem pendidikan vokasi yang baik,” kata Reza.

Sementara itu, Direktur IGI ATMI Y Wahyo Nursanto mengatakan, selama lebih dari 53 tahun, Politeknik ATMI Surakarta mengembangkan model sekolah vokasi satu atap dengan industri. ”Sebenarnya terpaksa karena tidak ada jalan lain. Satu-satunya jalan dengan mendirikan industri di sekolah. Apakah model ini masih relevan ke depannya? Hal ini sulit juga karena industri berkembang cepat. Karena itu, ATMI mulai membuka diri dan bekerja sama dengan pihak lain agar semakin besar untuk bisa memperkuat pendidikan vokasi di Indonesia,” kata Wahyo.

Menurut dia, pergeseran pendidikan vokasi yang berorientasi demand harus jadi momentum. Kadin perlu memiliki kewenangan untuk memimpin perubahan tersebut.

Sumber asli: https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/04/19/pendidikan-vokasi-belum-jelas-dan-masih-berbasis-sekolah

Leave a Reply