Jl. Bukit Darmo Raya No 1, Graha Famili Surabaya 
+62 (31) 7349231 
kadinjatim.sekretariat@gmail.com 

Industri Mainkan Peran Aktif untuk Tingkatkan Daya Saing Tenaga Kerja

JAKARTA, KOMPAS — Upaya peningkatan daya saing industri perlu diiringi dengan reformasi sistem pendidikan dan pelatihan vokasi. Pelaku industri tidak bisa sekadar berperan pasif dalam menyerap tenaga kerja lulusan vokasi, tetapi juga ikut bertanggung jawab menyelenggarakan program vokasi demi mengurangi potensi ketidakcocokan atau mismatch di pasar kerja.

Selama ini, program vokasi yang dijalankan pemerintah tidak berjalan optimal. Lulusan pendidikan vokasi justru menyumbang tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi dari tahun ke tahun. Mengutip data Badan Pusat Statistik, per Agustus 2021, TPT dari tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) merupakan yang tertinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yakni 11,13 persen.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya meski persentasenya menunjukkan tren menurun. Sebelumnya, pada Februari 2021, tamatan SMK menjadi penyumbang pengangguran tertinggi, yakni 11,45 persen. Sementara pada Agustus 2020, angka pengangguran tertinggi juga datang dari lulusan SMK, yaitu 13,55 persen.

Dalam diskusi terbatas dengan Kompas, Selasa (19/4/2022), Senior Advisor Proyek SED-TVET (Sustainable Economic Development Through Technical and Vocational Education and Training) GIZ-Jerman Rudy Djumali mengatakan, program vokasi di Indonesia selama ini tidak berhasil karena sistem pendidikan dan pelatihan vokasi tidak terintegrasi dengan kebutuhan dunia industri.

Untuk menjawab tantangan disrupsi ketenagakerjaan, pendekatan program vokasi harus digeser dari yang selama ini berorientasi penawaran (supply) menjadi permintaan (demand) pasar kerja. Dengan kata lain, kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi harus disesuaikan dengan kebutuhan riil dunia industri.

Ia mencontohkan vokasi sistem ganda (dual system) yang diterapkan secara nasional di Jerman. Di sana, pendidikan dan pelatihan vokasi sebagian besar berlangsung di industri dan sebagian kecil di sekolah kejuruan/vokasi. Pelaku industri di bawah kamar dagang dan industri (kadin) setempat diberikan tanggung jawab langsung untuk menjalankan program vokasi. Pemerintah hanya berperan menyediakan sistem dan kerangka regulasi serta mengawasi berjalannya program pendidikan vokasi.

Potensi mismatch atau ketidaksesuaian antara lulusan vokasi dengan kebutuhan dunia industri pun bisa ditekan karena pelaku industri ikut menyusun kurikulum dan ikut menyediakan tenaga pengajar di tempat kerja. Di Indonesia, hal ini belum diterapkan. Pendidikan vokasi masih dijalankan sporadis oleh berbagai kementerian/lembaga, sedangkan perusahaan tinggal menyerap lulusan yang tersedia.

”Akhirnya, kita saling menyalahkan. Industri menyalahkan lulusan yang tidak siap masuk dunia kerja, sekolah menyalahkan industri karena tidak menyampaikan kebutuhannya. Ini sudah berlangsung puluhan tahun, dan jika tidak ada terobosan, sampai 10-20 tahun lagi pun akan tetap seperti ini,” kata Rudy.

Akhirnya, kita saling menyalahkan. Industri menyalahkan lulusan yang tidak siap masuk dunia kerja, sekolah menyalahkan industri karena tidak menyampaikan kebutuhannya.

Di era disrupsi ketenagakerjaan yang dipercepat oleh pandemi dan pesatnya digitalisasi, daya saing industri bisa menurun jika sistem vokasi tidak kunjung dibenahi. ”Pemerintah harus berani memberikan tanggung jawab ke dunia industri karena kuncinya adalah menggeser pendekatan vokasi kita menjadi demand-oriented,” tuturnya.

Investasi yang terbayar

Asisten Program Kemitraan IHK (Kadin) Trier Jerman Reza Nurhadyansyah menuturkan, untuk menjalankan pendidikan dan pelatihan vokasi, perusahaan di Jerman rata-rata mengeluarkan 18.000 euro per pemagang per tahun (setara Rp 278,6 juta). Porsi terbesar, sebanyak 62 persen, dikeluarkan untuk membayar uang saku pemagang.

Kendati demikian, imbal balik yang didapat pada akhirnya setimpal dengan biaya yang dikeluarkan. Sebanyak 66 persen perusahaan yang mengadakan program magang dapat langsung mempekerjakan pemagang yang sudah terlatih dan tersertifikasi begitu pendidikan mereka rampung. Program vokasi pun menjadi strategi perusahaan untuk mendapat jaminan tenaga kerja yang berdaya saing.

”Kalau perusahaan merekrut dari pasar kerja, jatuhnya seperti membeli kucing dalam karung. Sementara menjalankan program magang sendiri menjadi lebih terukur. Pada akhirnya, 76 persen dari investasi yang dikeluarkan itu terbayarkan melalui kontribusi produktif dari pemagang,” kata Reza.

Terkait upaya meredefinisikan sistem vokasi, pemerintah baru-baru ini mencanangkan pembentukan Komite Vokasi Nasional, yang payung hukumnya kini tinggal menunggu ditandatangani Presiden. Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton Supit berharap, melalui lembaga itu, pelaku industri dapat diberi kewenangan dan peran aktif untuk menjalankan vokasi, menyerupai sistem ganda yang diterapkan di Jerman.

”Dibutuhkan perubahan paradigma untuk menghasilkan tenaga kerja yang premium dan untuk menyelamatkan perekonomian kita,” katanya.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Kegiatan praktik bongkar pasang mesin diesel oleh siswa sekolah kejuruan di Balai Besar Latihan Kerja Industri di Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Senada, Tenaga Ahli Kadin dari GIZ Jerman Henrik Kuffner mengatakan, Komite Vokasi Nasional perlu menjadi badan koordinasi yang menyatukan berbagai program vokasi yang saat ini tersebar di berbagai kementerian/lembaga.

”Ada banyak program yang menjanjikan, tetapi semuanya masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk membuat vokasi betul-betul efektif, perlu ada satu payung hukum, satu sistem, yang dijalankan di bawah satu badan koordinasi,” tuturnya.

Sumber asli: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/04/19/industri-mainkan-peran-aktif-untuk-tingkatkan-daya-saing-tenaga-kerja

Leave a Reply