Kualitas pembangunan manusia di Daerah Istimewa Yogyakarta semakin membaik yang ditandai oleh peningkatan indikator komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Level IPM D.I. Yogyakarta mencapai 80,22 pada 2021 sehingga berstatus provinsi dengan pembangunan manusia kategori Sangat Tinggi di Indonesia bersama Provinsi DKI Jakarta. Peningkatan terjadi pada semua komponen termasuk komponen pengeluaran per kapita yang sempat mengalami penurunan pada 2020 akibat pandemi Covid-19.
Sayangnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di DIY, untuk lulusan universitas paling tinggi diantara tingkat pendidikan lain yaitu 8,28 persen. TPT tertinggi berikutnya adalah Diploma (DI/II/III) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masing-masing 4,91 persen, serta Sekolah Menengah Umum sebesar 2,87 persen. Dengan kata lain, ada penawaran tenaga kerja yang berlebih terutama pada tingkat pendidikan S1, Diploma, SMK, dan SMU.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengangguran di D.I. Yogyakarta adalah pengangguran terdidik dengan pendidikan minimal SMA/SMK dan Perguruan Tinggi. Pengangguran terdidik akan berusaha mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah ataupun keahlian yang mereka miliki dengan harapan gaji yang akan diterima juga sesuai. Mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apa saja, hal ini dapat dilihat dari TPT SD ke bawah paling kecil diantara semua tingkat pendidikan yaitu sebesar 0,74 persen.
Merujuk pada data yang disampaikan Badan Pusat Statistik tersebut, tentu persoalan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi penting. Oleh karenanya, kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan (new normal) juga menjadi salah satu kunci keberhasilan mengatasi pengangguran. Hal itu tentu harus memiliki beberapa prasyarat yang dibutuhkan.
Pertama adalah membangun ekosistem SDM Unggul dalam perencanaan ketenagakerjaan. Untuk mencapainya diperlukan regulasi yang mendorong pendidikan vokasi dan pelatihan kerja di DIY yang based on demand driven. Disamping itu, juga perlu adanya koordinasi yang kuat antara Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) dengan melibatkan profesional dan akademis dalam merancang kebutuhan tenaga kerja (manpower planning) dan pelaksanaan peningkatan kualitas SDM Unggul DIY melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi dan asesmen yang terintegrasi.
Kedua, Terciptanya link and match perencanaan sumber daya manusia di DIY. Bahwa sistem pendidikan dan pelatihan kerja yang terintegrasi dari berbagai elemen stakeholder pendukung dapat menjadi pengungkit. Beberapa hal yang dapat diintegrasikan utamanya antara Dunia Pendidikan Formal (SMK/Diploma) dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI), Penerapan pendidikan vokasional sistem ganda, Optimalisasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah dan Swasta, serta penguatan lembaga-lembaga pilar pendidikan dan pelatihan vokasional (SMK, BLK, Politeknik, LPK/LPKS, LKP, LSP, Kampus Vokasional). Disamping melakukan reorientasi, revitalisasi dan rebranding kelembagaan pelatihan vokasi dan produktivitas berbasis demand-driven.
Terkait dengan peningkatan kompetensi itu, paling tidak ada tiga hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan SDM Unggul di DIY di era new normal ini. Pertama, adanya Reorientasi, yaitu Orientasi kelembagaan pendidikan dan pelatihan vokasi dan produktivitas mengarah pada peningkatan mutu pendidikan mengacu pada kompetensi SDM untuk bidang-bidang kejuruan masa depan Industri di Indonesia.
Kedua, adanya Revitalisasi: yaitu membenahi dan mengganti Sarana dan prasarana pendukung agar bisa memenuhi standar kompetensi SDM berdasarkan kualitas di Industri. Dan Ketiga, adanya Re-branding: Melakukan campaign positif terhadap pendidikan formal (SMK/Diploma) vokasional agar tidak lagi dianggap sebagai inferior pendidikan nasional.
Untuk itu, 4 dimensi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi pada SDM Unggul DIY, yaitu: Pengetahuan yang terstandar, Keterampilan yang terstandar, Karakter pekerja yang menjadi ciri khas keistimewaan DIY; dan tersedianya Human Capital Center sebagai pusat vokasional dan produktivitas DIY.
Dengan demikian, persoalan lebarnya gap kompetensi keahlian antara suplai SDM dari dunia Pendidikan dengan user (pengguna) pada dunia Industri (dunia usaha) memang harus dapat diberikan solusinya. Salah satu cara mengatasi gap tersebut adalah dengan diberlakukannya program pemagangan. Beberapa negara yang melakukan program pemagangan yang baik dan benar, selalu dapat mengatasi kendala SDM yang kompeten dan siap kerja. Sebut saja misalnya Jerman dan Jepang yang selalu dapat mengatasi problem tenaga kerja dan produktivitasnya.
Jika menyebut pemagangan (apprenticeship) tentu adalah terkait dengan upaya pelatihan di tempat kerja. Program ini akan memberi pengetahuan dan keterampilan, baik yang bersifat teknis maupun berupa sikap kerja yang sesuai dan diperlukan oleh perusahaan tempat melakukan pemagangan. Menyediakan pengalaman kerja yang sesungguhnya dan memperluas jejaring melalui pelatihan di tempat kerja. Memperoleh pengakuan melalui sertifikat untuk kompetensi tertentu yang telah pelajari selama program pemagangan (apprenticeship).
Tentu saja, harapannya adalah dengan kualitas SDM yang Unggul dan berkarakter khas Keistimewaan DIY akan berdampak pada peningkatan produktivitas. Dengan meningkatnya produktivitas, maka akan meningkatkan pula daya saing SDM DIY, yang berujung pada terserapnya tenaga kerja profesional dan kompeten serta tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hazwan Iskandar Jaya, SP, Med, Master Trainer in Company ASEAN adalah Founder LPK Trilogika Edutama dan Komite Tetap Sertifikasi Kompetensi KADIN DIY
Image by nakaridore on Freepik