Jl. Bukit Darmo Raya No 1, Graha Famili Surabaya
+62 (31) 7349231
kadinjatim.sekretariat@gmail.com

Wikan Sakarinto, Pejuang Pendidikan Vokasi Indonesia yang Pernah Gagal Masuk Prodi S1

Sosok vokasi pada edisi kedua ini mengangkat figur penting di dunia pendidikan vokasional di Indonesia. Dia adalah Wikan Sakarinto, S.T., M.Sc., Ph.D., sosok yang mendedikasikan hidupnya untuk berjuang di jalur pendidikan vokasi. Garis hidup telah membawa pria kelahiran Yogyakarta, tahun 1975 ini menjadi Dekan Sekolah Vokasi UGM, hingga dipercaya menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (DIKSI) Kemendikbudristek RI pada tahun 2020 hingga 2022 lalu.

Kini, dia disibukkan dengan pekerjaan baru. Pastinya tidak lepas dari kata kunci “vokasi”. Apa yang sedang Wikan Sakarinto perjuangkan sekarang? Apa harapannya untuk kemajuan pendidikan vokasional di Indonesia? Kita simak dalam wawancara berikut.

Bagaimana perjalanan karir seorang Wikan Sakarinto hingga akhirnya nyemplung di bidang pendidikan vokasi?
Pada tahun 1993, ketika lulus SMA, sebenarnya saya gagal masuk/diterima di prodi S1 Teknik Mesin UGM. Namun saya diterima di prodi D3 Teknik Mesin UGM. Orang-orang bilang, tidak keren kalau tidak kuliah di S1.
Bisa dikatakan, saya tidak sengaja nyemplung di prodi vokasi, yaitu strata D3. Dan bisa dikatakan, cerita selanjutnya, saya terlahir menjadi produk asli Pendidikan vokasi. Meski tadinya saya tidak paham apa itu vokasi, dan tidak passion pada prodi diploma yang saya masuki.
Ketika lulus D3, saya mendapatkan tawaran dari dosen senior kami, untuk menjadi dosen di prodi D3 Teknik Mesin. Saya menerima tawaran itu, dan sejak saat itu semakin memantapkan diri benar-benar nyemplung di pendidikan vokasi. Meski banyak orang bilang, bahkan teman-teman kuliah saya, kok tidak kerja di industri besar saja? Kalau jadi dosen prodi diploma tidak akan bisa jadi orang kaya dan sukses, kata mereka. Tapi saya tetap memilih menjadi dosen vokasi, dan bertekad membuktikan bahwa pandangan mereka salah.
Setelah lulus D3, saya melanjutkan studi di S1 Teknik Mesin, karena sebagai dosen UGM, saya harus terus belajar dan meningkatkan strata Pendidikan.
Setelah lulus S1 di UGM, saya melanjutkan Pendidikan S2 di Belanda dan Jerman, serta S3 di Jepang, dengan beasiswa dari Pemerintah Belanda (STUNED) dan Pemerintah Jepang (Monbusho).
Sewaktu hampir menyelesaikan Pendidikan S3, saya tiba-tiba mendapatkan tawaran bergabung di prodi S1 di Fakultas Teknik UGM. Kalau tawaran ini saya terima, berarti saya menyeberang dari vokasi ke akademik. Sebuah pilihan yang sangat menarik bagi banyak dosen Program Diploma pada saat itu, karena akan mendapatkan peluang-peluang besar kalau pindah ke prodi S1 (termasuk bisa mengelola prodi S2 dan S3). Plus, saat itu, warga atau sivitas pendidikan vokasi kerap dicap sebagai warga kelas 2, di UGM. Hehe ..
Kemudian, saya menolak dengan halus tawaran baik tersebut, dan melanjutkan membangun Sekolah Vokasi UGM dari awal (sepulang dari studi S3 di Jepang). Karena pada saat itu, Sekolah Vokasi UGM belum lama dibentuk di UGM. Kalau prodi-prodi vokasinya sudah jauh lebih dahulu terbentuk di UGM.
Lalu, saya melanjutkan menjadi dosen prodi diploma, sampai menjadi Kaprodi, lalu Wakil Dekan, lalu Dekan Sekolah Vokasi UGM, dan selanjutnya menjadi Dirjen DIKSI Kemdikbudristek.

Apa yang membuat anda begitu lekat dengan dunia pendidikan vokasi?
Karena saya produk asli dari Pendidikan vokasi.
Saya sudah mengalami perjuangan dan pengalaman bagaimana rasanya menjadi mahasiswa vokasi, dan bagaimana rasanya menjadi dosen vokasi, serta bagaimana rasanya menjadi pengelola Pendidikan vokasi mulai dari bawah dan relatively mulai dari ketertinggalan signifikan dari prodi-prodi S1, S2 dan S3 di kampus saya dulu. Banyak orang bilang, kami dulu warga kelas dua. Kelas satunya, Pendidikan akademik (S1, S2 dan S3), hahahahaha …..
Saya sangat mendambakan, melihat banyak lulusan Pendidikan vokasi menjadi orang-orang sukses dan menjadi pemimpin bangsa ini menuju peradaban Indonesia yang semakin maju dan sejahtera. Itu mimpi saya. Dan selalu ingin melihat anak-anak dari keluarga tidak mampu, mampu bangkit menjadi orang-orang sukses dan pemimpin di masa depan.
Indonesia membutuhkan do-ers lebih banyak, dari pada thinkers.
Indonesia membutuhkan wirausaha hebat lebih banyak lagi.

Adakah fakta yang membuat anda mengernyitkan dahi saat awal diangkat sebagai Dirjen Pendidikan Vokasi?
Pendidikan vokasi kita selama ini masih terlalu berfokus pada Pendidikan yang bersifat hard skills. Pola Pendidikan dan pembelajaran perlu ditingkatkan dan diperkuat untuk menciptakan lulusan yang kompetensi-nya lengkap. Yaitu mencakup soft skills, karakter, attitude, dan tentunya hard skills yang kontekstual.
Pendidikan kita membekali berbagai keterampilan/skills yang faktanya kelak ketika sudah memasuki dunia kerja, hanya sedikit sekali skills tersebut yang terpakai ketika bekerja dan/atau berkarir.
Mahasiswa harus belajar ini, itu, banyak sekali materi kuliah di dalam kurikulum. Para dosen juga berpendapat yang sama, mahasiswa harus belajar semuanya, lengkap, dan harus bisa semuanya, agar siap diserap dunia kerja.
Namun kenyataannya, banyak dari mereka yang bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan bidang yang mereka pelajari. Karena dunia kerja itu sesungguhnya tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang dari dunia Pendidikan.
Bila kita mendengarkan keluhan pihak DUDI dan dunia kewirausahaan, kalau hard skills atau keterampilan teknis, bisa dilatih dalam beberapa bulan oleh mereka. Namun membentuk karakter dan attitude serta kematangan kemampuan komunikasi, leadership, kreatifitas, digital skills yang kuat, problem solving skills, karakter pekerja keras, memiliki integritas, serta karakter pembelajar mandiri sepanjang hayat, itu yang sangat sulit didapatkan pada diri lulusan-lulusan kita. Terutama mereka yang masih fresh-grad. Problematika ini bukan hanya pada lulusan Pendidikan vokasi, tetapi semuanya.
Kurikulum kita masih terlalu hardskills oriented. Mindset guru dan dosen menjadi concern utama agar bisa terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman serta perkembangan teknologi dan peradaban.
Kalau cuma kurikulum yang diperbaiki, namun mindset guru dan dosen tidak diubah dan dibuka, maka perubahan dalam dunia Pendidikan kita sulit terjadi.
Artinya, untuk menciptakan lulusan yang kompetensi nya lengkap, dan sesuai dengan kebutuhan DUDI dan dunia kewirausahaan, ya masih sulit. DUDI masih akan terus dan terus complain dan tidak puas dengan lulusan Pendidikan kita.
DUDI-nya pun juga harus lebih mau ikut terlibat mendidik siswa-siswa kita. Dan saya melihat, DUDI nya masih belum clear dan belum paham, bagaimana caranya bisa terlibat konkret dan akurat, bagaimana ikut mendidik dan menciptakan lulusan yang kompetensi-nya lengkap. Bahkan, seringkali masih ikut terlibat hanya dalam aspek hardskills
Mendidik hardskills itu tidak salah, itu tetap diperlukan. Namun kalau tanpa soft skills, karakter dan attitude, maka Link and Match akan selamanya hanya menjadi jargon kosong tanpa mampu menciptakan solusi nyata bagi pertumbuhan daya saing industri kita.

Seperti apa pendidikan vokasi yang ideal di mata anda?
Pendidikan vokasi harus memastikan Link and Match, menghasilkan lulusan yang kompeten, yaitu hard skills, soft skills, karakter dan attitude yang unggul dan kuat, menjadi pembelajar mandiri sepanjang hayat, yang semaksimal mungkin sesuai dengan kebutuhan DUDI dan dunia kewirausahaan.
Pendidikan vokasi harus adaptif, agile dan fleksibel mengikuti perubahan zaman.
Pendidikan vokasi harus memerdekakan siswa/mahasiswa untuk berkembang sesuai dengan passion, minat dan bakat masing-masing. Maka Pendidikan vokasi harus tetap tidak boleh kaku, hanya bertopang pada hard skills, yang kelak tidak semua, atau bahkan hanya sedikit yang benar-benar relevan terpakai Ketika bekerja.
Kurikulum Pendidikan vokasi harus disusun bersama DUDI dan harus benar-benar mengimplementasikan secara konkret: Project-based Learning (PBL), Case-based Learning serta Teaching Factory (TeFa).
Di dalam PBL dan TeFa, tantangan riil harus dihadirkan kepada siswa/mahasiswa. Yaitu pesanan (produk) riil, dari konsumen riil, sehingga soft skills, karakter dan attitude benar-benar terlatih.
Siswa/mahasiswa harus dilatih menghadapi konsumen riil, mencari/mendapatkan order atau pesanan riil, menyelesaikan project riil, dan menciptakan kepuasan pada konsumen, yang lagi-lagi harus riil. Mereka akan menghadapi kesulitan riil, dan bahkan resiko mengalami kegagalan yang riil pula. Seluruh kegiatan pembelajaran riil tersebut diakui sebagai kegiatan kuliah atau kegiatan belajar mengajar.
Guru dan dosen, jangan hanya asyik atau bertumpu pada peran ‘pengajar’ (teaching), namun juga mampu menjadi coach, mentor, serta fasilitator dalam proses pembelajaran Project-based Learning dan Teaching Factory.
Keterlibatan para praktisi dan expert dari DUDI harus semaksimal mungkin dalam proses pembelajaran Pendidikan vokasi. Mindset mereka pun juga harus dikembangkan.

Menurut anda, apa yang menjadi tantangan bagi pendidikan vokasi di Indonesia?
Pada prinsipnya permasalahan paling mendasar yaitu mindset dan karakter para pendidik, dan juga mindset serta karakter siswa, mahasiswa dan masyarakat.
Untuk benar-benar mau merubah dan memodifikasi kurikulum dan pola pembelajaran yang berbasis Real PBL dan Real TeFa, banyak kampus dan sekolah yang belum meyakini untuk berani melakukannya.
Saya paham, bahwa mengimplementasikan Real PBL dan Real TeFa memang akan memerlukan perubahan mindset para guru dan dosen, yang itu sangat penuh tantangan.
Sebenarnya kehadiran Kurikulum Merdeka, kalau bicara di level SMK, bagi saya, sudah semakin tepat akan membawa kita ke arah perubahan. Karena di dalam Kurikulum Merdeka SMK, PBL dan TeFa sudah terwadahi di dalam beberapa mata pelajaran yang kalau para guru dan para Kepala SMK tahu dan paham bagaimana memanfaatkannya untuk PBL dan TeFa, maka hasilnya akan sangat signifikan perubahan dan perbaikannya.
Namun saya kuatir, belum banyak yang memahami bagaimana PBL dan TeFa dapat diimplementasikan dengan tepat, akurat dan berdampak nyata, dengan Kurikulum Merdeka SMK.

Akan seperti apa arah pengembangan pendidikan vokasi Indonesia dalam kurun 10 tahun ke depan?
Kalau orang-orang dari dunia Pendidikan tidak mau atau masih sulit berubah, kalau mindset kita masih kaku, kalau tidak mau benar-benar memahami dunia kerja, maka dalam 10 tahun kedepan kita tidak akan beranjak dari posisi sekarang ini. Yaitu Skor PISA anak-anak kita tertinggal jauh, Human Development Index kita tertinggal, Indeks Produktivitas SDM kita tertinggal, Index Kreatifitas (orang-orang) Indonesia tertinggal, dan sebagainya. Ini data dan fakta. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, angka-angka indeks tersebut sudah membaik, namun masih tetap tertinggal lumayan jauh, bahkan dari negara-negara di ASEAN. Belum kalau dibandingkan dengan Jepang, China, US dan negara-negara di Eropa.
Kalau orang-orang dari kalangan DUDI belum mampu memahami dan bertindak secara tepat untuk ikut gotong royong mendidik dan membangun SDM kita, maka akan semakin memperparah stagnasi ini. Bonus Demografi akan berlalu begitu saja tanpa bekas.
Kalau bicara dari sudut pandang positifnya, silakan membalik kedua aspek diatas menjadi tantangan dan target yang harus kita dealing with as soon as possible.

Kembali ke sosok Wikan Sakarinto, apa rencana anda ke depan?
Insya Allah, saya sedang berjuang mendirikan Politeknik Gistrav (bidang Teknologi dan Kreatifitas Digital) di Yogyakarta, dan Akademi Inovasi Indonesia (bidang Teknik Mesin dan Industri Manufaktur) di Salatiga.
Semua prodi Sarjana Terapan (D4). Kelak kedepan, kami ingin mengembangkan program SMK-D2 Fasttrack, S2 Terapan joint degree dengan kampus-kampus ternama di dalam negeri dan luar negeri.
Keduanya, sangat menerapkan Lind and Match, Real PBL, Real TeFa, dan semangat Merdeka Belajar.
Keduanya kami bangun/dirikan bersama industry mitra.
Target dari kedua kampus ini, menciptakan techno-preneur yang sudah teruji konkrit dan riil di dalam PBL dan TeFa di kampus kami. Mahasiswa akan benar-benar mengalami jatuh bangun dan pahit getir menciptakan market, mencari konsumen, bahkan di-komplain konsumen dan mengalami kerugian dalam produksi dalam TeFa yang riil. Agar karakter, attitude dan soft skills nya terbentuk nyata, serta hardkills-nya juga terbangun dengan konteks yang relevan dan tepat.
Konsep dan pola pembelajaran PBL dan TeFa ini, siap saya share kepada siapapun yang ingin mencoba menerapkannya, gratis dan tidak perlu membayar sepeserpun kepada kami.

Penyunting Naskah
Saga Iqranegara
Komite Tetap Industri Digital Kreatif, KADIN DIY

Leave a Reply